Huda, anak bungsu saya yang berusia 15 tahun menyampaikan pesan ustazah yang mengajar di kelasnya. "Golput itu haram, karena tidak taat kepada Ulil Amri". Lain lagi alasan yang diberikan seorang rekan saya: "Jika kita tidak ikut memilih, nanti orang yang tidak seagama dengan kita malah yang memanfaatkan. Kita bisa-bisa akan menanggung dosa ketika pemimpin negara kita berasal dari agama lain".
Untuk urusan memilih kepala negara, setakat ini saya memang sefaham dengan rekan saya ini. Negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam akan sangat janggal jika dipimpin oleh seorang presiden yang tidak seagama dengan rakyatnya. Sama halnya dengan kepala pemerintahan di Flores, misalnya, akan sulit seorang beragama Islam menjadi gubernur. Juga seorang Muslim nyaris mustahil menjadi gubernur Bali.
Terus terang, yang menjadi ganjalan saya selama ini adalah memilih calon anggota legislatif. Kasus demi kasus yang menimpa anggota legislatif selama ini membuat saya sangat muak terhadap mereka, meskipun yang berbuat amoral itu, katakanlah, segelintir kecil.
Rasa muak itu diperparah dengan pemberitaan upaya caleg yang nyaris menghalalkan segala cara agar terpilih. Konon, untuk mendapatkan urutan teratas, sang caleg harus setor ratusan juta rupiah, dan lebih parah lagi praktik seperti ini justeru terjadi di partai-partai yang berbasis Islam. Logika sederhana saya, "bagaimana dengan pencalonan di partai-partai yang jelas-jelas sekular?".
Tidak terlalu berlebihan jika di beberapa daerah, Rumah Sakit Jiwa telah menyiapkan ruangan khusus bagi para caleg yang gagal mewujudkan impiannya. Modal ratusan juta hingga milyaran yang sebagian dari mereka mungkin harus menggadaikan sebagian kekayaannya, bahkan konon ada yang menjual rumah dan tananya... demi menjadi seorang anggota legislatif!
Bagi para caleg yang menempuh jalan seperti itu, tidak sulit untuk ditebak, jika mereak terpilih nanti, yang ada di benak mereka tentunya bagaimana mengembalikan "modal". Maka tidak heran jika sebagian anggota legislatif itu terlibat dalam berbagai skandal seperti yang dibuktikan oleh mereka yang sudah divonis tahunan itu.
Anggota legislatif itu hakekatnya adalah wakil rakyat, tetapi pernahkah kita merasa terwakili oleh mereka? Katakanlah, pada PEMILU kali ini, si Fulan menjadi caleg Daerah Pemilihan (DAPIL) Jakarta Selatan, jika sang caleg ini nanti terpilih, akankah ia memperjuangkan kepentingan warga Jakarta Selatan? Lha, sang caleg itu sendiri asalnya dari mana, kita tidak tahu menahu.
Adalah sangat wajar jika akhirnya banyak orang yang mengkhawatirkan jumlah golput akan lebih banyak dari Pemilu sebelumnya.
Wednesday, April 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment