Monday, October 19, 2009

GEMPA BUMI DAN BENCANA: ANTARA PENALARAN ILMIAH DAN DIMENSI IMANI

Pembicaraan tentang apakah ada korelasi antara gempa bumi atau bencana alam dengan perbuatan dosa yang dilakukan manusia, ternyata tidak hanya dimonopoli kita, orang Indonesia yang memang sering ditimpa bencana akhir-akhir ini. SMS berantai yang mengaitkan angka jam terjadinya gempa di Sumatera Barat dan Jambi baru-baru ini ternyata masih ramai diperbincangkan dan diperdebatkan. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa pembahasan tersebut sangat tidak manusiawi di tengah-tengah penderitaan keluarga para korban. Saya sebagai salah seorang yang memaparkan kandungan ayat-ayat dengan angka yang menunjukkan jam terjadinya gempat itu tidak luput mendapat “serangan” dari salah seorang yang kebetulan berasal dari daerah Sumatera Barat. Jika saya ikut mempublikasikan ayat dan terjemahannya dengan nomor jam terjadinya gempa tersebut semata-mata karena isinya sangat relevan. Ayat-ayat tersebut sama sekali bukan untuk menambah penderitaan keluarga para korban, tetapi semata-mata sebagai bahan introspeksi bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Gempa bumi hanyalah salah satu di antara sebab datangnya kematian, dan kematian itu sendiri datangnya dengan seribu satu macam cara. Dengan terjadinya berbagai macam musibah, kita tidak hanya perlu mempelajari bagaimana agar musibah serupa tidak menimpa kita, tetapi yang paling penting adalah, “Sudah siapkah kita dijemput ajal kapan saja dan di mana saja?”. Musibah banjir mungkin masih bisa dicari “kambing hitam”nya. Entah itu karena penggundulan hutan sebagai akibat keserakahan manusia dan perbuatan korup para penguasa yang mengeluarkan izin. Lalu, bagaimana dengan musibah gempa bumi? Siapa yang dapat dijadikan “kambing hitam”?.

Prof Dr Zaghlul Raghib Al-Najar, pakar geologi dari Mesir, pernah ditanya tentang korelasi antara gempa bumi dan bencana lainnya dengan dosa manusia. Jawaban beliau sebagai berikut:

Semua fenomena kosmis seperti gempa bumi, gunung berapi dan badai adalah salah satu prajurit Allah. Peristiwa alam ini terjadi untuk menghukum orang-orang yang bersalah dan sebagai ujian bagi orang-orang saleh, dan pelajaran bagi para korban yang selamat. Pemahaman kita tentang mekanisme terjadinya berbagai fenomena alam ini tidak dapat mengeluarkannya dari statusnya sebagai bagian dari balatentara Allah. Jika kita tidak memandangnya dengan persepsi imani seperti ini, umat manusia tidak akan menjadikannya sebagai pelajaran, meskipun mereka dapat memprediksikan terjadinya atau menciptakan berbagai alat canggih untuk menghadapinya. Tentang hal ini Imam Ali – semoga Allah memuliakan wajahnya – berkata, “Tidaklah azab itu terjadi melainkan karena adanya dosa yang dilakukan, dan tidaklah azab itu diangkat melainkan karena adanya taubat”. Ayat-ayat yang berkenaan dengan berbagai hukuman dalam Al-Quran, semuanya merupakan jawaban terhadap dosa-dosa yang dilakukan umat manusia. Di antara ayat Al-Quran yang paling menonjol yang berbicara tentang gempa bumi, disebutkan dalam surah Al-Nahl:

ﯿ النحل: ٢٦

“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”. Al-Nahl 26.

Menurut Prof Dr Zaghlul Raghib Al-Najjar, beliau belum menemukan penggambaran tentang gempa bumi yang lebih hebat dari yang disebutkan dalam surah Al-Nahl ayat 26 ini. Bencana seperti ini diturunkan sebagai jawaban terhadap perbuatan makar orang-orang yang durhaka. Kemudian beliau mengajak agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari fenomena alam ini dan meletakkannya dalam kerangka yang benar seperti yang telah dijelaskan, yaitu: sebagai hukuman bagi orang-orang yang durhaka, sebagai ujian bagi orang-orang yang saleh dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang selamat dari bencana tersebut.

Bagaimana dengan menanggapi bencana ini dengan pendekatan ilmiah? Prof Dr Zaglul Raghib Al-Najjar mengatakan, jika umat manusia dapat menciptakan sarana dan prasarana untuk melindungi diri dari bencana ini, maka hal itu tidaklah berdosa dan tidak ada salahnya. Namun, yang harus diingat adalah bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk memprediksikan terjadinya gempa dan semua upaya tersebut tidak berguna untuk menghadapinya atau memprediksi waktu terjadinya dalam waktu yang cukup untuk menghindari bencana yang akan ditimbulkannya. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, orang-orang Cina berhasil memprediksi terjadinya gempa. Prediksi mereka dapat dibuktikan sehingga mereka bersuka cita luar bisa. Mereka diundang ke sebuah konferensi internasional untuk berdiskusi dengan para ilmuwan dunia tentang keberhasilan mereka memprediksi terjadinya gempa. Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui telah berkehendak agar gempa terjadi dan daerah tempat berlangsungnya konferensi internasional itu pun berguncang dengan dahsyat, memporak-porandakan gedung tempat mereka berdiskusi. Konferensi itu pun berakhir tanpa hasil apa-apa.

No comments: