Thursday, April 23, 2009

KEGILAAN PEMILU, GILA PEMILU DAN PEMILU GILA

1
Oleh: Ostaf Al Mustafa *

* (Penulis lepas di situs Dinas Kesehatan Bontang, Kaltim pada
http://www.dkkbontang.com/ sekaligus menangani masalah IT-nya. Beliau sarjana komunikasi dari Universitas Hasanudin, menetap di Bontang, Kaltim). Tulisan ini dimuat seizin penulisnya.

Politik merupakan usaha paling gila dalam berkuasa. Kegilaan itu terdapat di realitas modern, epos Mahabharata dan ‘mitologi Yunani’, bahkan di update dan upgrade pada Pemilu 2009. Dalam realitas modern, kegilaan politik dibahas dalam Journal of The Royal Society Magazine (volume 96, 23 Desember 2003). Allan Beveridge, MPhil FRCPsych, menulis berbagai jenis kegilaan dalam “The Madness Of Politics”. Ia memulainya dengan pertanyaan “Apakah Perdana Menteri itu gila?”. Pertanyaan itu menguat di Inggris menjelang masa akhir kekuasaan Margaret Thatcher (1990). Saat itu sang ‘Wanita Besi’ mengalami ‘crazed and grandiose’. Seperti apa itu ‘crazed and grandiose’ dalam konteks realitas politik ke Indonesiaan? ‘Crazed and grandiose’ merupakan kondisi ketika seseorang terlihat makin gila dalam kekuasan dan memiliki ambisi kembali untuk berkuasa. Kegilaan ala Thatcher membiak sangat parah di Indonesia. Para mantan presiden yang gagal menyejahterakan rakyat Indonesia, kembali muncul dalam demagogi baru. Mereka memajang janji baru untuk menutupi janji lama yang tak ditepati. Politikus busuk yang pernah menikmati uang korupsi semakin bertambah banyak dalam deret ukur jejeran baliho. Pesta politik Indonesia tak akan ramai, tanpa kehadiran para politikus busuk itu. Dalam politik, bau busuk terasa wangi di hidung para para politikus yang berada dalam kondisi ‘crazed and grandiose’.

Tak ada rasa malu dengan apa mereka perbuat di masa lalu. Ketiadaan rasa malu menjadi ciri khas para politikus Indonesia yang menjadi Thatcherian. Mereka mengalami ‘gila pemilu dalam pemilu gila ini’. Indonesia merupakan area paling gila di seluruh dunia. Setiap hari lebih dari setahun, terjadi pemilu di Indonesia. Banyak terjadi kegilaan dalam masa-masa pemilu itu, ada yang benar-benar gila atau ‘gila bener’! Beda dua kegilaan itu, cuma setipis sayatan silet. Kegilaan ala British ini, makin membesar ketika Dr. Paul Broks, seorang neuropsychologist menduga Blair seorang yang ‘plausible psycopath’. Dr Sidney Crown, seorang psychotherapist yakin Blair mengalami ‘devious personality’. ‘Plausible psycopath’ merupakan orang yang kelihatannya melakukan hal yang seolah-olah masuk akal, tapi justru disitulah bagian kegilaannya sebagai psikopat politik. Seorang yang ‘plausible psycopath’, sering memberikan pernyataan-pernyataan yang bagus, yang sesungguhnya tak pernah ia lakukan saat masih berkuasa atau menjabat wakil rakyat. Pernyataan itu tentu saja diimbuhi oleh Iklan berharga mahal di media cetak dan media elektronik. Politikus yang menderita ‘devious personality’, masa lalunya bertangan kotor dalam semua tindak tanduk politiknya. Memasuki masa pemilu, ia justru terlihat sangat alim atau suci. Ia mencapai tujuan politiknya dengan berbagai kelicikan dan ketidak-jujuran. Politikus yang Blairian, banyak terdapat di Indonesia.
2
Kegilaan terangkum pada kosa kata Yunani yakni “tragidio” yang berarti ‘nyanyian sendu’. Tragedi juga perpaduan antara ‘tragos’ (kambing) dan ‘aeidein’ (nyanyian). Tragidio yang berarti ‘nyanyian kambing’, merupakan lagu favorit dalam pemilu 2009. Bila anggota DPR/DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak menepati janjinya, maka itu masih wajar. Mana ada suara yang benar dalam nyanyian kambing? Percaya pada nyanyian kambing, termasuk kegilaan baru di kalangan para pemilih. Kambing-kambing yang tak menepati janji, sudah sulit dikambing-hitamkan, karena bulu mereka sudah berwarna-warni. Kegilaan pemilu penuh warna, kambing-kambing tak ada lagi yang berbulu hitam!

Tragedi dalam mitologi Yunani menurut Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 –1900) berupa Dionysian (kegairahan) dan Apollonian (kelemahan). Dionysian dan Apollonian, merupakan sisi lain dari kekuasaan dan kegilaan. Dalam mitologi Yunani, Apollo dan Dionysus merupakan anak dari Dewa Zeus. Apollo merupakan Dewa Matahari. Darinya dinisbatkan keriangan, musik, dan puisi. Dionysus merupakan Dewa Anggur. Darinyalah terdapat keliaran, kegembiraan di luar kendali dan kemabukan. Sosok Apollo dan Dionysus merupakan kontradiksi antara gelap versus terang dan segala yang berada di oposisi biner.

Kontradiksi itu kini melebur dalam pemilu. Politik mampu mempertemukan Dionysian dan Apollonian dalam satu meja, satu partai dan kegilaan yang sama. Tragedi Yunani adalah kegilaan kekuasaan, bukan tentang luka yang menganga di medan perang, maupun tentang airmata yang mengalir dalam sungai darah. Tragedi ini antara lain tercatat dalam illiad (narasi epos) karya Homer tentang ‘Perang Troya’. Perang itu menghadirkan kegilaan Agamemnon (raja Mycenae/Yunani). Ia berkata “Aku tak peduli dengan kebenaran yang kau emban dalam perang, Aku tak punya urusan dengan Helen yang akan direbut kembali! Aku menginginkan hanya satu yakni rebut Troja dan aku yang duduk di singgasana”

Epos Mahabharata menukilkan kegilaan wangsa Bharata, ketika Kurawa hendak menguasai Astina. Pandawa ikut dalam kegilaan itu dengan mempertaruhkan singgasana dalam perjudian dadu. Lebih gila lagi, seorang perempuan cantik yang tak berurusan dengan kegilaan para lelaki itu, menjadi bahan taruhan. Drupadi, sang perempuan suci terhina, karena ulah Pandawa dan Kurawa. Hadirnya perempuan di sela-sela kegilaan para lelaki, sama dengan pemicu perang Troya. Saat itu demi alasan cinta, Paris (pangeran Troya) membawa Helena ke Troya. Helena merupakan istri Menelaus (raja Sparta). Perang yang bermula dari rebutan perempuan, membiak menjadi sebuah kegilaan untuk menguasai Troya.

Helena hanya motif sekunder dari penyerangan ke Troya, sedangkan motif primer adalah kegilaan berkuasa. Drupadi dan Helena, obyek kegilaan para lelaki. Hal itu berbeda dengan Thatcher yang menjadi subyek gila dalam kekuasaan politik di Inggris. Di Indonesia, kegilaan sudah tak lagi berupa sebuah pertanyaan dan tak perlu dipertanyakan. Kegilaan dalam kekuasaan sudah diakhiri dengan tanda seru. Jika Beveridge, hidup di Indonesia, ia tak usah lagi bertanya, “Apakah politikus itu gila?” Ia akan berseru, ”Politikus Indonesia sudah gila ya!”

No comments: