Sebagaimana telah aku katakan dalam komentar terhadap tulisanmu di blog itu, sedikit banyak aku telah memahami -- bahkan mengamalkan -- apa itu cinta. Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyyah, dalam bukunya الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي yang telah aku terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Jawaban Lengkap Terhadap Yang Bertanya Tentang Penawar Mujarab" (belum diterbitkan, tetapi telah dibeli oleh Pustaka Panjimas, Jakarta), ada menyebutkan tentang falsafah cinta ini. Di antaranya, jika kita mencintai sesuatu dan cinta kita itu sejati, maka kita pasti akan mencintai segala sesuatu yang ada kaitannya dengan sesuatu itu. Maka, kalau kita benar-benar cinta kepada Allah dengan cinta yang sebenarnya, kita akan mencintai segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah. Pertanyaannya adalah, "adakah sesuatu di dunia ini yang tidak ada kaitannya dengan Allah?". Jawabannya, pasti "tidak" kan. Nah, kalau begitu berarti kita harus mencintai segala sesuatu yang ada di dunia ini dong. Ya, betul.
Nur Mustika,
Kamu adalah dari sekian banyak orang -- kendati hanya ada dalam alam khayal -- yang patut aku cintai. Alasannya sederhana aja koq: kamu mencintai apa yang aku cintai. Hatimu begitu melekatnya ke almamatermu, Universitas (maaf, kami menyebutnya dalam lafal kami, Indonesia) Malaya, kampus yang aku cintai setakat ini. Aku belum cerita padamu, bahwa sebelum di UM ini aku sempat terdaftar di sebuah universitas di negaramu ini yang berlabelkan Islam. Setelah aku tinggal beberapa lama di kampus UM ini, ternyata aku temukan kehidupan di kampus "sekular" ini jauh lebih Islami daripada kampus yang berlabelkan Islam tersebut. "Senyum adalah sedekah", begitu salah satu ajaran Islam. Setiap kali saya berurusan dengan staf di UM, selalu dilayani dengan wajah penuh senyuman, satu hal yang teramat mahal saya dapatkan di kampusku yang dulu itu. Banyak kawan-kawan yang akhirnya membuat kesimpulan, "Orang Malaysia emang sombong-sombong". Ah, kalaulah mereka mengenalmu, Nur Mustika, mereka akan meralat kesimpulan seperti itu.
Untungnya bidang kajianku adalah linguistik yang sarat dengan kajian bahasa. Bahasa Melayu memang cikal bakal bahasa Indonesia sekarang. Banyak kosa-kata yang sama ucapannya, tetapi berbeda arti atau pemakaiannya. Beberapa kali saya disapa orang "kamu". Sejenak, saya terkejut juga dan langsung ingat bahwa mungkin "kamu" di Malaysia berbeda daripada Indonesia. Memang, secara gramatikal dan leksikal, ucapan "kamu" tidak masalah, tapi secara pragmatis, orang akan mengatakan "kurang ajar". Pronomina "kamu" hanya diucapkan kepada rekan sebaya atau kepada yang lebih muda, dan sama sekali tidak baik alias "kurang ajar" jika diucapkan kepada orang yang lebih tua.
Nah, dengan adanya pengetahuan seperti ini saya bisa memaklumi "kekurangajaran" sebagian saudaramu itu.
Jadi, apa pun yang aku dapatkan di negeri ini, aku tak peduli dan akan tetap berkata, "Nur Mustika, maafkan aku telah jatuh cinta".
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
wah..tulisan bapak membingungkan saya kerana berfikir, bagaimana saya mahu cari Nur Mustika yang bapak cintai itu?
Dia bahkannya impian saya dalam angan-angan. Jika begitu, saya harus hidupkan Mustika untuk bapak dan orang-orang yang ingin kebaikan orang Melayu Malaysia.
kena belajar.
Ummu hani
Post a Comment