Hari ini, Jum`at 29 Juni 2007, bertepatan dengan hari jadiku yang ke-49. Selama ini memang bukan tradisiku untuk memperingati hari jadi, tetapi setidaknya kali ini harus merenung lebih dalam tentang kontrak hidup ini. Tahun depan, usiaku akan genap 50 tahun. Orang sering mengatakannya sebagai tahun emas. Yang jelas, jatah hidupku di dunia ini kini semakin berkurang.
Sendiri. Ya, aku memperingatinya sendiri karena aku sedang berada di kampung orang, tepatnya di negeri seberang, Malaysia. Ammar, anak sulungku sedang pulang kampung untuk beberapa hari, seusai mengikuti program bahasa Inggris. Esok pun dia kembali bersamaku.
Salat Jum`at minggu lalu aku lakukan bersama Ammar di Masjid Al-Bukhari, daerah Hang Tuah. Masjid itu baru diresmikan awal tahun ini dan indah luar biasa. Sayangnya keindahan masjid tersebut kurang sepadan dengan pemilihan khatibnya. Selain kefasihan bahasa Arabnya yang perlu ditingkatkan, khutbah yang disampaikannya pun hambar, tidak ada isinya.
Kekecewaan Jum`at minggu lalu terobati hari ini. Aku salat di "masjid kuning", demikian Ammar menyebutnya, karena cat kubah dan seluruh bangunan memang bercat kuning. Seperti biasa, sebelum khatib naik mimbar, ada seorang ustaz yang menyampaikan ceramah. Hari ini ada yang lain. Sang ustaz muda, dengan hanya mengenakan kemeja lengan pendek, janggutnya pun tidak terlalu panjang, menyampaikan ceramah yang agak "panas". Tema utamanya adalah syirik. Dia mengingatkan bahwa selama ini umat Islam di Malaysia begitu peduli terhadap masalah fiqh, sampai-sampai jama`ah subuh di suatu masjid ramai-ramai meneriakkan "subhanallah" ketika sang imam tidak membaca do`a qunut. Sang imam balik mengucapkan tasbih tersebut. Menurut sang ustaz muda, yang ternyatanya bernama Zul itu, jama`ah tidak sadar bahwa bacaan qunut itu hukumnya sunat dan sang imam pun menyadari bahwa kalau pun ia tinggalkan, tidak akan merusak salatnya.
Kepedulian masyarakat Islam terhadap masalah fiqh ini, menurut Ustaz Zul, tidak sebanding dengan kepedulian mereka terhadap aqidah. Banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah berada dalam kubangan dosa syirik. Mempertuhankan para pemimpin agama, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani, adalah termasuk syirik.
Dalam konteks kekinian, warga tidak sadar bahwa mereka tengah mempertuhankan para pemimpin mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan Dia. Sebagai ilustrasi, Ustaz Zul memberikan contoh dengan perdagangan arak (minuman keras) di berbagai toko dengan bebas. Bila seorang Muslim mempertanyakannya, mengapa minuman yang diharamkan agama ini dijual, maka penjaga toko tersebut yang boleh jadi seorang Muslimah yang berkerudung, dengan serta merta akan mengeluarkan surat izin yang dikeluarkan pemerintah yang "menghalalkan" penjualan minuman haram tersebut.
Menyinggung kasus pembunuhan keji terhadap Altantuya yang menurut Ustaz Zul telah memeluk Islam dengan nama Aminah Abdullah. Semua yang menangani kasus tersebut yang telah mengalami penggantian hakim dan jaksa beberapa kali, semuanya orang Melayu yang beragama Islam. Bahkan, dua orang tertuduh, keduanya baru melaksanakan ibadah umrah. Para pegawai kerajaan tersebut tidak sadar bahwa pekerjaan mereka itu mendukung dijalankannya hukum selain Allah yang dalam bahasa Al-Qur`an disebut Thaghut. Hukuman yang harus diberikan kepada para tertuduh, bila terbukti mereka bersalah, adalah qisas, jika merujuk syariat Islam.
Hukuman orang yang minum arak, jika dilakukan dimuka umum, adalah denda RM 3000. Demikian juga orang berjudi dan berzina. Menurut Ustaz Zul, peraturan-peraturan seperti ini jelas mengubah peraturan yang disyari`atkan oleh Islam.
Salah satu contoh mengharamkan apa yang dihalalkan, adalah adalah kegiatan dakwah. Menjelaskan ajaran Islam yang sebenar, menyampaikan pesan Rasul, walau pun hanya satu ayat. Nah, pekerjaan seperti ini bukan sekadar halal, tetapi bahkan diperintahkan oleh Allah terhadap setiap diri orang Islam. Namun, sayangnya Ustaz Zul pada suatu ketika di kawasan Shah Alam, ketika sedang menyampaikan ceramah, tiba-tiba dari arah mihrab ada orang yang memerintahkan padanya agar meletakkan mikrofon dan berhenti berceramah, tanpa ba bi bu. Setelah ditanya, ternyata orang tersebut berasal dari sebuah lembaga pemerintah yang merasa punya wewenang mengatur kegiatan penceramah. (Bagi Anda yang berada di Indonesia, ingat masa Orde Baru ketika Benny Moerdany menjadi Pangab. Khutbah pun harus punya izin, sebagaimana yang dialami sendiri oleh penulis artikel ini).
Selesai salat sunat, aku menghampiri ustaz muda ini. Aku salami sambil memperkenalkan diri. Ketika aku sebutkan bahwa aku berasal dari Jakarta, sang ustaz mengatakan bahwa dia sering pergi ke kota itu dalam rombongan Pak Anwar Ibrahim. Oh, pantas saja ceramahnya begitu hebat, ternyata sang ustaz ini memang bukan tipe kebanyakan ustaz yang "diredoi" kerajaan.
Ustaz Zul, teruskan jihadmu.
Semoga Allah senantiasa melindungimu.
Thursday, June 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment