Tuesday, March 16, 2010

PENERJEMAHAN BUKAN SEKADAR MENGALIHKAN PESAN

Pada umumnya kita mengetahui bahwa penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Yang dialihkan bukanlah bentuk bahasa yang memang nyaris mustahil dialihkan karena setiap bahasa mempunyai sistem tersendiri yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.

Jika diamati secara sepintas, buku-buku agama hasil terjemahan dari bahasa Arab yang beredar di pasar tampaknya merupakan sekadar hasil pengalihan pesan. Dengan perkataan lain, penerjemah dan penerbit telah merasa puas dengan telah mengalihkan pesan dari penulis buku berbahasa Arab menjadi buku berbahasa Indonesia. Mereka tidak memperdulikan bahwa struktur kalimat bahkan beberapa kosa-katanya sangat kental terpengaruh sistem bahasa Arab.

Dalam sebuah blog, sebuah judul tulisan berbunyi, "Gigitlah Sunnah ini dengan Gigi Gerahammu". http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/20/gigitlah-sunnah-ini-dengan-gigi-gerahammu/

Sementara itu, menurut teori penerjemahan "the best translation does not sound like translation", seakan-akan pesan ini tidak pernah dipertimbangkan oleh para penerjemah buku atau teks berbahasa Arab. Lebih dari itu, seorang guru besar bahasa Arab -- bukan penutur asli, memang -- menafikan kalau kolokasi bukan termasuk masalah penerjemahan. Menurutnya, selama pesan Bsu tidak dapat dialihkan 100% ke Bsa, penerjemahan apa pun tidak dapat dikatakan "masalah". Jadi, sangatlah wajar jika buku-buku terjemahan dari bahasa Arab yang ada di pasar tidak "sedap" dibaca karena bagi sebagian orang penerjemahan sudah dianggap selesai selama para pembaca Bsa memahaminya.

Sunday, March 7, 2010

KENTALNYA LIDAH WARGA MALAYSIA


Suatu petang TV3, stasiun tv swasta Malaysia menayangkan acara berjudul "Jalan-jalan Cari Makan", semacam "Wisata Kulinernya" Pak Bondan. Pembawa acaranya seorang wanita muda dengan pakaian trendi, tanpa menutup aurat sebagai wanita Muslimah secara penuh. Rambutnya dipotong pendek. Serina Ridzuan, namanya. Ada satu hal yang membuat saya cukup terpukau adalah ketika si pembawa acara ini memancing dan umpan di kailnya, secara spontan dia berteriak, "`AUDZU BILLAHI MINASY SYAITHANIR RAJIM BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM" dengan ucapan yang sangat fasih. Ucapan spontan tersebut terlontar ketika seekor ikan besar menyambar mata pancing. Ucapan seperti itu -- bagi kita warga Indonesia -- mungkin sulit kita dengar dari para pembawa acara yang bukan berbau agama.

Ketakjuban saya semakin bertambah ketika bintang tamu dalam acara itu, yaitu seorang selebritis yang cukup terkenal hendak menyantap hidangan. Dengan serta merta pula dan dengan suara yang cukup lantang membaca doa sebelum makan. Sekali lagi, acara yang ditayangkan adalah semacam wisata kuliner, ditayangkan oleh tv swasta dan bukan dalam bulan puasa.

Simpulan yang saya peroleh, pendidikan agama di Malaysia sedemikian kuat sehingga membekas dalam diri warganya. Hal itu tampak pula dalam penggunaan nama asli mereka yang memang sangat kental berbau bahasa Arab, Siti Nurhaliza, misalnya. Artis jelita yang telah menjadi isteri seorang pengusaha ternama ini tanpa sungkan memanggil dirinya dengan "siti", nama yang bagi sebagian orang terdengar kampungan.