Pada umumnya kita mengetahui bahwa penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Yang dialihkan bukanlah bentuk bahasa yang memang nyaris mustahil dialihkan karena setiap bahasa mempunyai sistem tersendiri yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.
Jika diamati secara sepintas, buku-buku agama hasil terjemahan dari bahasa Arab yang beredar di pasar tampaknya merupakan sekadar hasil pengalihan pesan. Dengan perkataan lain, penerjemah dan penerbit telah merasa puas dengan telah mengalihkan pesan dari penulis buku berbahasa Arab menjadi buku berbahasa Indonesia. Mereka tidak memperdulikan bahwa struktur kalimat bahkan beberapa kosa-katanya sangat kental terpengaruh sistem bahasa Arab.
Dalam sebuah blog, sebuah judul tulisan berbunyi, "Gigitlah Sunnah ini dengan Gigi Gerahammu". http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/05/20/gigitlah-sunnah-ini-dengan-gigi-gerahammu/
Sementara itu, menurut teori penerjemahan "the best translation does not sound like translation", seakan-akan pesan ini tidak pernah dipertimbangkan oleh para penerjemah buku atau teks berbahasa Arab. Lebih dari itu, seorang guru besar bahasa Arab -- bukan penutur asli, memang -- menafikan kalau kolokasi bukan termasuk masalah penerjemahan. Menurutnya, selama pesan Bsu tidak dapat dialihkan 100% ke Bsa, penerjemahan apa pun tidak dapat dikatakan "masalah". Jadi, sangatlah wajar jika buku-buku terjemahan dari bahasa Arab yang ada di pasar tidak "sedap" dibaca karena bagi sebagian orang penerjemahan sudah dianggap selesai selama para pembaca Bsa memahaminya.
Tuesday, March 16, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment