Terus terang penampilan pasangan JK-WIN yang didampingi isteri masing-masing dengan busana muslimah itu telah banyak mempengaruhi para pemilih dari kalangan umat Islam. Para simpatisan PKS, kendati sejumlah petingginya telah menandatangani dukungan secara resmi, konon banyak yang mengalihkan dukungannya kepada pasangan Bugis-Jawa itu.
Jika Universiti Malaya, Malaysia memberikan gelar kehormatan doktor kepada JK -- terlepas dari muatan politik atau tidaknya-- tidaklah berlebihan. Putra Bugis ini memang telah malang-melintang di dunia bisnis sejak lama. Keluarga Haji Kalla di Makassar telah lama dikenal sebagai konglomerat berhasil. Ketika pertama kali mendengar -- puluhan tahun lalu -- nama Jussuf Kalla aktif berkecimpung di Golkar, saya bertanya-tanya, "Buat apa pengusaha seperti JK ini mau-maunya bergelut dalam politik?". Sebagai orang awam dalam bidang bisnis, kesimpulan yang paling mudah ditarik adalah bahwa politik diperlukan untuk melancarkan kegiatan bisnis, karena politik sangat dekat dengan kekuasaan yang diperlukan untuk menjalankan bisnis apapun.
JK memilih Golkar karena waktu itu, selama puluhan tahun bahkan sejak partai ini enggan disebut sebagai partai politik, padahal lebih jahat dari partai politik manapun, adalah partai yang kekuasaannya seakan-akan tidak akan pernah tergoyahkan. Bayangkan saja, dari mulai presiden hingga ketua RT/RW turut serta memaksa warga untuk memilih Golkar. Agar urusan di kelurahan dan desa lancar, aparat kelurahan dan desa membuat warganya terpaksa memilih Golkar. Belum lagi aparat militer di Koramil dan Kodim, karena petingginya (Jenderal Hartono) sempat menyatakan bahwa ABRI mendukung Golkar sepenuhnya.
Di desa-desa terpencil masih terlihat jejak ketidakberpihakan Golkar kepada rakyat. Desa yang warganya banyak memilih PPP -- waktu itu -- kondisinya pasti memprihatinkan. Jalan desa dibiarkan banyak berlubang dan selama puluhan tahun hanya dibuat dari batu koral, sedangkan desa di mana Golkar menang, jalan aspal plus fasilitas PLN dapat dinikmati warganya.
Secara pribadi, saya pernah merasakan cengkraman kuku kekuasaan Golkar ini. Sepulang dari kuliah di Madinah, saya diminta memberikan kultum menjelang salat tarawih di masjid agung, masjid tempat saya mengaji semasa SD. Tanpa ada tendensi apapun, saya menyampaikan pengalaman belajar di tanah suci selama empat tahun. Dalam ceramah tersebut wajar jika saya menceritakan bagaimana nikmatnya dapat menjalankan ibadah umrah setiap saat. Dapat mencium hajar aswad kapan pun, tanpa harus berdesak-desakan seperti musim haji. Nah, ketika saya bercerita tentang Masjid Haram, tentunya saya juga menceritakan tentang Ka'bah yang menjadi simbol pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Ternyata, pembicaraan tentang Ka'bah ini membuat ketua DKM setempat yang dikenal sebagai dedengkot Golkar, membuat dirinya gerah dan risau. Sejak itu, saya dicekal. Menurut jamaah, kultum saya berisi propaganda PPP, padahal samas sekali saya tidak mengenal politik waktu itu. Selama empat tahun berada di kampus Universitas Islam di Madinah itu, para mahasiswa sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik manapun.
Pengalaman pahit serupa saya temukan pada masa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang, Banten (ini yang benar, bukannya Jakarta). Setelah puluhan tahun meninggalkan pergururuan tinggi yang kini dikenal dengan UIN itu, salah seorang sahabat menceritakan apa yang pernah dibicarakan di kalangan para dosen semasa saya kuliah. Karena prestasi saya dianggap bagus (waktu wisuda, saya terpilih menjadi lulusan terbaik dengan IPK 3.46), saya dinominasikan untuk dijadikan dosen tetap dan akan dikirim ke Canada, seperti beberapa dosen yang berprestasi lainnya. Bapak dekan waktu itu memang pernah memanggil saya agar mengajukan lamaran untuk menjadi dosen, tetapi saya menyatakan tidak bersedia. Ketika saya terpilih sebagai lulusan terbaik waktu itu, tentunya saya bersyukur, tetapi tanpa sedikitpun merasa bangga. Adalah sangat wajar jika saya mendapatkan nilai paling tinggi di antara seangkatan semua, karena saya kuliah selama dua tahun ini hanya mengulang pelajaran sewaktu mondok di Pondok Modern Gontor dan di Universitas Islam, Madinah itu. Hanya beberapa mata kuliah saja yang perlun dipelajari agak serius, karena memang belum pernah ditemukan selama ini.
Entah karena penolakan saya untuk mengajukan lamaran menajdi dosen itu atau karena hal lainnya, yang jelas menurut sahabat saya itu, saya tidak jadi dipilih untuk jadi dosen dan dipilih untuk dikirim ke Canada, karena saya dianggap sebagai seorang ekstrimis. Sebagai alumni Timur Tengah, pemikiran saya dianggap berseberangan dengan orang-orang IAIN waktu itu yang nyaris menjadi corong Golkar. Wajar jika mereka beranggapan seperti itu, karena menjelang sidang skripsi, saya dengan sangat terpaksa harus mengikuti penataran P4. Tanpa sertifikat P4 ini, mahasiswa tidak boleh mengikuti ujian.
Nah, dalam satu sesi yang menghadirkan rektor, emosi saya sempat terpancing. Rektor perguruan tinggi Islam ini dengan entengnya mengatakan, bahwa Islam Pancasilalah yang paling sesuai untuk warga Indonesia dan bukannya Islam yang berada di Saudi Arabia. Kemudian, sang rektor ini mengatakan bahwa mengapa para wanita di Saudi Arabia diharuskan menutup tubuhnya sedemikian rupa. Alasannya karena para lelaki Arab itu begitu melihat betis perempuan saja, matanya langsung ijo. Berbeda dengan lelaki Indonesia. Dalam kesempatan tanya-jawab, saya dengan nada emosi, mempertanyakan apakah memang ada bukti ilmiah kalau lelaki Indonesia mempunyai syahwat yang lebih rendah dibandingkan lelaki Arab? Bukankah ayat tentang menutup aurat itu berlaku untuk warga Arab dan warga dunia lainnya? Kemudian waktu itu saya memohon agar orang sekaliber rektor tidak mendeskriditkan bangsa apapun, terlebih tanpa ditopang oleh bukti dan dalam forum terhormat seperti itu.
Pengalaman ini terjadi dalam tahun 1980-an, ketika Golkar sedang jaya-jayanya dan sekali lagi waktu itu mereka enggan disebut sebagai partai politik. Masa-masa penderitaan orang-orang yang anti Golkar tentunya tidak pernah dialami oleh kaum muda seperti para simpatisan PKS atau pemilih pemula sekarang ini. Penampilan isteri JK dan Pak Wir dengan busana muslimah telah cukup membuat mereka bersimpati. Adalah juga sangat wajar jika para ulama di PKNU memberi dukungan penuh. Demikian halnya dengan para kiyai dari sejumlah pesantren.
Terus terang, penampilan kedua wanita, isteri capres dan cawapres dengan busana muslimah ini telah membuat saya berfikir, "Inilah pilihan saya". Namun, jika ingat kembali masa silam Golkar itu?
Seandainya kendaraan politik JK ini bukan Golkar.....
Tuesday, May 26, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment