Nur Mustika,
Ini adalah suratku kali ketiga sebagaimana tertera pada tajuk di atas. Jika rakan-rakanmu hendak mengetahui bagian pertama dan keduanya, bagi tahulah mereka iaitu dengan melayari laman http://saifullahkamalie.blogspot.com/. Juga tolong mintakan maaf aku karena aku menulisnya dengan bahasa Melayu Indonesia, namun aku yakin bahwa tulisanku akan difahami mereka.
Nur Mustika,
Izinkan aku dalam kesempatan ini mengulang kembali asal muasal aku mengenalmu. Aku mencarimu sebaik menonton rancangan Resensi Buku pada RTM 1, suatu Sabtu pagi, semata-mata karena nama Universiti Malaya (UM) disebutkan. Aku tidak mengenal siapa itu Ummu Hani Abu Hassan. Aku juga bukan terpengaruh oleh promosi yang tertera pada sampul depan yang berbunyi "MESTI BACA! Karya pemenang Anugerah Sastera Utusan 2005", bukan pula karena harganya yang RM22.90 yang cukup untuk tiga hari makan di kantin kolej universiti.
Lalu, alasan apa engkau memilihku untuk berbicara tentang dirimu di majlis ini? Tentunya, bukan karena aku "pendatang Indonesia" yang engkau lihat sesaat setelah keluar dari kedai 7-Eleven dan menumpang teduh di bawah bumbung kaki lima bangunan (halaman 107). Pendatang Indonesia yang diduga menghantar Jin Padang yang menyebabkan dirimu kerasukan sedemikian rupa (halaman 119-124). Aku yakin, bukan karena alasan ini, mengapa aku engkau pilih sebagai pembicara.
Nur Mustika,
Biasanya aku membaca sebuah novel tak lebih dari satu atau dua jam. Khusus untuk Ladang Hati Mustika (LHM), diperlukan waktu lebih dari satu hari. Bagi remaja senegara denganmu, bahasa yang digunakan memang sederhana dan mudah difaham, tetapi bagiku yang berasal dari seberang, banyak sekali kosa kata yang asing. Namun, tak perlu khawatir. Mesej yang hendak disampaikan dapat aku tangkap dengan baik. LHM memang sebuah novel dakwah. Dan sebagaimana lazimnya sebuah novel remaja, aroma percintaan pun cukup semerbak tercium di dalamnya.
Dalam rancangan Resensi Buku itu perekamu, Ummu Hani Abu Hassan mengatakan bahwa 70% isi LHM adalah refleksi dari pengalaman pribadinya selama menjadi pelajar UM. Memang, aku temukan hal itu dengan jelas. LHM adalah diari seorang pelajar universiti pada umumnya. Misalnya, ketika engkau bersama rakan karibmu, Faez Faeza mencari rumah sewa. Bagi pelajar UM, Millennium Court (MC) tentunya bukan nama yang asing lagi. Demikian pula pengalamanmu dengan Dr. Juwairiyah, pensyarah UM yang begitu baik hati sampai-sampai engkau beberapa kali diajak menginap di rumahnya dan begitu dekat dengan kedua anaknya, Hakimi dan Alif. Aku tak tahu apakah Dr. Juwairiyah itu sekadar watak fiktif seperti dirimu itu atau memang ada dalam alam wujud, tetapi yang menjadi catatan bagiku adalah kebaikan pensyarah UM ini memang bukan fiktif. Ia adalah ada dalam alam nyata, sebagaimana yang aku alami sendiri. Dua orang penyeliaku, Ustaz Dr. Mohd. Zaki Abd. Rahman dan Prof. Madya. Dr. Su’ad Awab di Fakulti Bahasa dan Linguistik. Subhanallah!, aku sangat bersyukur mendapatkan orang-orang berhati mulia seperti beliau berdua itu. Engkau tahu kan apa itu ilmu padi? Semakin berisi, semakin menunduk. Ustaz Dr. Mohd. Zaki tak segan-segan mengajak mahasiswa yang dibimbingnya untuk minum bersama di kantin. Demikian pula Prof. Madya. Dr. Su`ad Awab, kendati beliau adalah seorang deputi dekan dan seperti Ustaz Dr. Mohd. Zaki pernah lama tinggal di luar negara, tetapi – subhanallah – dengan sabar, tekun dan mesra memberikan arahan kepada mahasiswa. Beliau berdua sangat berbeda dengan beberapa professor di universiti lain yang begitu arogan. Bahkan yang pernah aku temui ada di antara para cendekiawan arogan itu yang mengatakan (misalnya) bahwa nasi lemak itu tidak enak dan tidak layak dijadikan makanan. Lalu ketika aku tanya, apakah profesor pernah makan nasi lemak, jawabnya, "belum pernah".
Oleh karena itu, sebagaimana aku tulis dalam surat terdahulu, mengapa aku jatuh cinta padamu, tak lain dan tak bukan karena engkau mencintai sesuatu yang aku cintai. Engkau mencintai Universiti Malaya dengan sejumlah pensyarah yang berakhlak mulia. Pendek kata, LHM beserta engkau di dalamnya dapat dijadikan pelepas rindu bagi graduan UM, ketika telah berada jauh dari almamaternya itu. Bahkan untukku ketika berada di tanah air nanti.
Nur Mustika,
Usiamu dalam LHM "mula beralih daripada zaman pra remaja kepada zaman remaja sepenuhnya" (halaman 3). Sikap remaja dengan hatimu yang masih labil berhadapan dengan dorongan naluri tampak dalam beberapa narasi seperti rasa cemburu terhadap orang yang diduga lebih berjaya mendapat orang yang dicintai:
Mataku terpandangkan seorang pelajar lelaki berkulit cerah dan bercermin mata. Dia berjalan duduk di kerusi beberapa meter dariku. Ya Allah! Mengapa Bayu ada di sini? Seketika, temannya yang bertudung manis datang duduk di sisi. Hatiku bergetar cemburu. (halaman 33)
Sikap remaja yang pencemburu juga tampak jelas ketika engkau dengan mata kepala sendiri mendapatkan sahabar karibmu, Faez Faeza tengah berduaan dengan seorang lelaki yang engkau cintai di sebuah restoran cepat-saji. Engkau dengan serta-merta keluar dari restoran itu dengan hati yang hancur (halaman 166). Engkau tinggalkan sahabat karibmu itu dengan gejolak api cemburu buta. Ya, engkau memang seorang dara yang sedang beranjak remaja.
Nur Mustika,
Merindukan seseorang yang dicintai adalah naluri. Demikian pula mencintai seseorang yang dikagumi. Memiliki perasaan seperti ini tidak perlu dijadikan beban, apalagi dirasakan sebagai sebuah kesalahan. Ya, engkau memang seorang ustazah, tetapi engkau juga manusia biasa yang memiliki hati. Jadi, tak payahlah engkau mempunyai fikiran seperti di bawah ini:
Mengapa tiba-tiba aku terasa kehilangan Bayu? Sebelum ini aku tenang melabuh samudera hidup tanpa cintanya. Aku telah membuktikan diriku kuat melawan emosi dan bertindak matang sebagai muslimah. Aku tidak pernah lagi menghubunginya apatah lagi menagih cintanya semula. (halaman 38)
Nur Mustika,
Seorang penyair Arab berkata, janganlah engkau bertanya kepada orang yang hendak engkau ketahui tentang dirinya, tetapi bertanyalah kepada rakannya, karena rakannya itu biasanya suka mengikuti apa yang dilakukan orang yang hendak engkau ketahui itu. Nah, jika Fuad seorang pelajar di Universiti Madinah hendak mengetahui siapa Nur Mustika, tentu ia tidak akan bertanya kepada dirimu, apakah engkau perempuan baik dan layak dijadikan sebagai isterinya kelak atau tidak. Setidaknya ia akan bertanya kepada salah seorang sahabat karibmu, entah itu Faez Faeza atau Kak Jibah. Sahabat yang terakhir ini berjaya membawa mesej dakwahmu sehingga dapat berucap:
"Rezeki yang kita dapat, kita kena kongsi-kongsi dengan orang lain, baru Allah nak cambah lagi. Kalau dapat sikit, bagi sikit, bila banyak, bagi banyak. Macam tu yang Rasulullah ajar. Bukan bila sikit, tak bagi langsung sebab nak tunggu banyak. Tak selalu bersedekahlah kita, " (halaman 22)
Nur Mustika,
Seluruh penghuni Az-Zahra dan rakan-rakan sekampusmu tahu bahwa engkau berobsesi menjadikan sastera sebagai media dakwah. Itu dengan jelas engkau katakan:
"Sastera Islam adalah satu dakwah kontemporari dan ia perlu ditampilkan dengan wajah agresif dan berani bagi mendepani era global yang sengit" (halaman 28)
Namun, "wajah agresif dan berani" ini tampak juga dalam dakwah bil lisan yang engkau lakukan terhadap Uncle Sepet yang berakhir pada penolakan dirinya untuk masuk Islam. Sikap agresif dan berani ini memang dikagumi jiranmu itu. Uncle Sepet yang telah berusia senja itu, tampaknya kurang tepat bila didakwahi melalui logika, seperti penjelasan tentang keberadaan Allah (lihat halaman 198-199). Sikapmu yang terlalu berani ini juga tampaknya kurang diterima oleh rakan-rakanmu seperti Kak Wani dan Kak Jibah (halaman 200). Namun, dengan berpedoman pada ucapan Prof. Aziz, engkau akhirnya merasa berada di pihak yang benar: berdakwah secara direct, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dahulu. Itulah, menurutmu, rahasia mengapa missionaris Kristian begitu kuat "kerana mereka bangga menerang dan mengajak orang lain pada Tuhan Jesus. Tuhan trinity". Betulkah?
Aku cukup mengkhawatirkan sikap keras dirimu dalam berdakwah ini. Ada baiknya engkau membaca kembali sejarah masuknya Islam ke antero nusantara yang mencakup Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Umat Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia merupakan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Bila seluruh penduduk Islam di Timur Tengah dikumpulkan, jumlahnya tidak akan sebanding dengan jumlah umat Islam di Asia Tenggara ini. Maka aku sangat heran mengapa engkau mengatakan:
"Bangsa Melayu adalah ummah Islam yang minoriti berbanding bangsa Arab dan bangsa lainnya...". (halaman 28)
Yang menarik dari umat Islam di Asia Tenggara ini, selain jumlahnya yang sangat besar, juga cara bagaimana Islam masuk dan berkembang di antara penduduknya. Islam masuk ke bumi nusantara berbeda dari Islam masuk ke wilayah berhampiran dengan Semenanjung Arab. Islam masuk dan berkembang di sana lewat para sahabat yang secara professional sebagai pendakwah dan dilakukan secara direct. Akibatnya, di kalangan orientalis sering terucap bahwa Islam berkembang dengan pedang.
Islam masuk ke bumi nusantara melalui para peniaga. Tujuan utama mereka adalah mencari rezeki. Karena perilaku mereka yang terpuji, karena mereka datang dengan akhlaq mahmudah, penduduk tempatan kagum terhadap agama para peniaga tersebut yang akhirnya mereka beramai-ramai masuk Islam, tanpa bujukan dan rayuan.
Nur Mustika,
Salah satu keistimewaan agama Islam adalah sikap toleransi. Ketika Islam berkembang di Madinah, umat Yahudi dan Kristian hidup dengan nyaman di bawah pemerintahan Islam. Mereka mendapat perlindungan karena mereka membayar pajak. Dan di antara pesan Rasulullah dan para sahabat kepada pasukan Islam yang hendak melakukan dakwah atau penaklukan, selalu mereka diminta agar tidak menyakiti kaum perempuan, anak kecil, tidak mengganggu tempat-tempat ibadah dan orang yang sedang beribadah di dalamnya. Maka, istilah "bertoleransi" yang digunakan dalam monolog dirimu berikut, menurut hematku kuranglah tepat:
Tetapi, malangnya ummah Melayu terlalu gemalai, terlalu lembut dan bertoleransi menerima budaya luar sehingga tidak mempunyai jati diri agama lagi. Terkapai-kapai dalam lautan globalisasi. Tercungap-cungap menghirup kopi hiburan dan budaya hedonisme. Berkulit Melayu tetapi berjiwa barat sehingga tidak nampak lagi muram kasihan terhadap sahabat-sahabat yang tertindas di seluruh dunia. Ummah Melayu yang semakin gersang keimanan..." (halaman 28)
Novel memang berbeda dari karya tulisan ilmiah yang harus tunduk pada sejumlah peraturan. Salah satu ciri keilmiahan sebuah tulisan adalah adanya konsistensi pada penulisannya. Sebetulnya, engkau dapat memperluas cakupan dakwah yang hendak engkau jalani. Dakwah tidak mesti dalam pengertian yang sempit. Semua kebaikan yang ada di dunia ini adalah ajaran Islam. Mentaati peraturan termasuk pada kebaikan. Dalam buku Gaya Dewan disebutkan bahwa yang mengikuti peraturan disebut "baku" dan yang tidak mengikuti disebut "tidak baku". Tulisan "baku", tentunya dapat dijadikan pedoman oleh pembacanya. Islam adalah agama yang "baku" sehingga harus dijadikan pedoman hidup. Maka, apakah salahnya bila tulisan-tulisan yang bernuansa dakwah Islam seperti LHM ini juga mengetengahkan "benda-benda baku". Ini bukan berarti LHM diubah menjadi tulisan ilmiah, tetapi beberapa penulisannya – selain dialog yang memang harus ditampilkan dengan dialek tempatan – dapat ditulis dengan gaya "baku". Misalnya, penggunaan huruf besar dan huruf condong. Beberapa nama dan frasa memang telah ditulis dengan huruf condong, tetapi tidak sedikit pula yang menggunakan huruf biasa. Di antaranya:
"lima buah novel remaja berteraskan sendi Tauhid seperti Sebuah Syakirah dan Tanda Sebuah Kurnia yang menjadi koleksi novelku. (halaman 56)
"…aksi kemalangan dalam filem KL Menjerit..." (halaman 82)
Sebuah Syakirah dan Tanda Sebuah Kurnia adalah tajuk novel yang sepatutnya ditulis dengan huruf condong, sehingga menjadi Sebuah Syakirah dan Tanda Sebuah Kurnia. Dan KL Menjerit, sepatutnya KL Menjerit.
Nur Mustika,
Karena engkau telah berazam menjadikan sastera sebagai media dakwahmu, dan yang didakwah-kan itu adalah agama Islam yang sempurna, maka ada baiknya engkau mengikuti gaya bahasa Kitab Suci Al-Quran dalam menyampaikan pesan. Bila sesuatu yang hendak disampaikan itu dapat dianggap kurang sopan, tabu atau kasar, maka Al-Quran menggunakan kinayah atau sindiran yang dalam bahasa moden dikenal dengan eufemisme. Misalnya dalam surah An-Nisa ayat 43 berikut:
"...dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...."
Ungkapan datang dari tempat buang air adalah terdengar lebih sopan dalam pendengaran siapapun, berbanding dengan apa yang engkau tulis pada halaman 2:
"Entah bagaimana rupanya aku menangis setiap malam kerana mahukan susu ummi juga saban [CENSOR] dibasuh oleh ummi dan abahku".
Dengan terpaksa aku sisipkan tanda [CENSOR] di antara kata-kata di atas, karena dalam pendengaranku, kata-kata itu sangat vulgar, tak elok disampaikan oleh seorang yang terpelajar. Dan engkau sebagai seorang perempuan pasti dapat lebih menerima ungkapan menyentuh perempuan berbanding ungkapan lain yang dapat dianggap kurang santun. Diksi, iaitu pemilihan kata, memang sangat penting dalam menyampaikan pesan. Isi sebuah pesan dapat disampaikan dengan berbagai ungkapan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Namun, apa pun yang engkau sampaikan dalam LHM ini, bagaimana pun gaya bahasa yang engkau pakai, izinkan aku untuk tetap berkata,
"Nur Mustika,
Maaf Aku Telah Jatuh Cinta".
Kolej Kediaman Ke-12 Universiti Malaya
Sabtu, 07- 7- 07
Penulis dapat dihubungi melalui email:
skamalie@yahoo.com
Sunday, July 8, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Assalamualaikum Uncle Saifullah..
moga dirahmati Allah..
baru saya faham kenapa uncle bagi alamat blogspot ni... terharunya baca nukilan ayah dan anak-beranak ni.. tahniah buat semua..
saya nampak mesej yang nak disampaikan...
yang penting, seperti uncle bagitau sebelum ni, kenal orang bukan dari dirinya sendiri.. tapi menilai orang dari sudut pandangan orang yang hampir dengannya...
o.. ya.. bapak shakur dah balik ke fakulti.. baru hari ni bertemu dengannya dalam kuliah...
Insya-Allah ketemu lagi...
Rosita Hamdan, Master of Economics, UM
Post a Comment