Wednesday, February 24, 2010

PEMAKZULAN: SEBUAH DISKRIMINASI LINGUISTIK

Masih ingat kasus kasus orang miskin yang mencuri buah kakao yang dimejahijaukan dan mendapat hukuman sekian tahun, sementara yang merampok uang rakyat trilyunan rupiah masih bebas berkeliaran?

Nasib wong cilik memang selalu terpinggirkan, bahkan bukan di mata hukum tetapi juga di mata bahasa. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sering mendengar kata-kata pemakzulan. Akar kata pemakzulan adalah makzul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online disebutkan:

mak·zul v berhenti memegang jabatan; turun takhta;
me·mak·zul·kan v 1 menurunkan dr takhta; memberhentikan dr jabatan; 2 meletakkan jabatannya (sendiri) sbg raja; berhenti sbg raja;
pe·mak·zul·an n proses, cara, perbuatan memakzulkan


Kata makzul berasal dari bahasa Arab معزول /ma`zul/ bentuk ism maf`ul (active participle) dari verba عزل /`azala/ yang bersinonim dengan /khala`a/ = mencopot.

Bagi Anda yang mengetahui bahasa Arab harus bersyukur bahwa kata makzul dan bentuk derivasinya mengandung makna lebih dibandingkan kata mencopot. Memberhentikan seorang yang memiliki jabatan tinggi seperti raja, presiden atau wakilnya digunakan kata memakzulkan dan bukannya mencopot. Nuansa makna luhur ini juga terasa ketika kita menggunakan kata nikah dan kawin. Seorang jejaka dinikahkan dengan seorang gadis, tetapi kucing jantang dikawinkan dengan kucing betina. Dari sisi ini kita memang bersyukur, tetapi sekaligus prihatin bahwa orang-orang berkuasa mendapat perlakuan linguistik yang berbeda dengan para wong cilik.